Namun, pengabdian panjangnya justru berujung pada ketidakadilan. Gaji yang seharusnya menjadi haknya tak lagi diterima penuh selama hampir tiga tahun terakhir. Bahkan setelah pemutusan hubungan kerja (PHK), ia tak kunjung mendapatkan pesangon sebagaimana diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan.(29/10)
Kisah ini menjadi potret nyata bagaimana nilai kemanusiaan dan ajaran moral sering kali hanya tinggal slogan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist yang sangat populer, “Berikan haknya sebelum kering keringatnya.”
Namun, di zaman modern ini, pesan luhur tersebut seolah hanya tinggal teks yang dilantunkan di mimbar — tanpa dihayati dalam tindakan.
“Ternyata budak tidak hanya ada di zaman nabi. Di zaman sekarang pun masih ada, hanya berganti nama dan bentuk,” tutur Cak Kusnan, aktivis sosial sekaligus penulis yang menyoroti kasus ini.
Menurutnya, kisah Siti Rohma mencerminkan betapa buruh masih sering diperlakukan tidak adil, bahkan oleh perusahaan milik pemerintah yang seharusnya menjadi contoh.
“Bayangkan, gaji yang dipotong pajak untuk menggaji pejabat, PNS, polisi, tentara, hingga membeli bedak dan lipstik pejabat wanita, tapi hak seorang buruh justru diabaikan. Ini bukan sekadar ironi, tapi bentuk pengkhianatan moral,” tegasnya.
Cak Kusnan menyebut, kondisi ini menampar wajah Jawa Timur yang selama ini dikenal sebagai daerah kaya, religius, dan berbudaya santri.
“Ketika suara mereka tak bisa menggantikan susu untuk anak-anak buruh, ketika jabatan mereka tak mampu menghentikan tangisan seorang pekerja yang menuntut haknya, di situlah makna kemakmuran dan moral kehilangan arti,” pungkasnya.
Kasus Siti Rohma kini menjadi simbol perjuangan para buruh di Jawa Timur yang masih berjuang menuntut hak-hak mereka — bukan untuk kemewahan, melainkan sekadar untuk keadilan dan kemanusiaan (red)
dibaca
Posting Komentar
0Komentar