Surabaya, – Dugaan praktik “tangkap–lepas” terhadap pengguna narkoba di lingkungan Polrestabes Surabaya kembali mengemuka dan memantik keresahan publik. Isu tersebut tak hanya menyita perhatian masyarakat, namun juga memicu reaksi keras dari berbagai elemen sipil, salah satunya Fast Respon Indonesia Center (FRIC) DPW Jawa Timur yang secara terbuka angkat bicara.
Ketua FRIC DPW Jatim Imam Arifin menilai, mencuatnya isu ini tidak bisa dianggap sebagai rumor biasa. Menurutnya, jika dugaan tersebut benar, maka persoalan ini bukan hanya menyangkut pelanggaran etik, tetapi sudah masuk wilayah kerusakan serius dalam sistem penegakan hukum.
“Kalau hukum bisa dinegosiasikan, bisa ditransaksikan, maka negara sedang dalam bahaya. Ini bukan sekadar persoalan oknum, tapi soal runtuhnya kepercayaan publik terhadap institusi,” tegasnya dalam pernyataan kepada media.
Sorotan Terhadap Dugaan Praktik Transaksional
FRIC menegaskan, praktik “tangkap–lepas” dalam kasus narkotika kerap menjadi isu laten di berbagai daerah, namun jarang membuka fakta sebenarnya ke ruang publik. Surabaya, sebagai kota besar, dinilai harus menjadi contoh dalam hal transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum.
“Kasus narkoba adalah kejahatan serius. Kalau ada pengguna yang diproses, lalu ada dugaan bisa ‘diatur’, masyarakat pasti bertanya: keadilan untuk siapa? Apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?” ujar Ketua FRIC.
Lebih jauh, Imam menekankan bahwa proses rehabilitasi seharusnya menjadi bagian dari kebijakan pemulihan bagi penyalahguna, bukan dijadikan celah untuk terjadi praktik transaksi atau kompromi hukum.
Desakan Audit dan Pengawasan Independen
FRIC DPW Jatim mendesak agar dugaan tersebut tidak berhenti pada klarifikasi internal semata. Mereka meminta adanya penelusuran terbuka melalui mekanisme resmi, baik oleh Propam Polri, pengawas internal, hingga lembaga eksternal yang berwenang.
“Jangan cukup dengan pernyataan ‘tidak benar’. Kalau ingin publik percaya, buka datanya, buka prosesnya, buka alurnya. Jangan ada yang ditutupi kalau memang bersih,” tegasnya.
Menurutnya, transparansi bukan untuk melemahkan institusi, melainkan untuk menyelamatkan marwah lembaga penegak hukum dari persepsi buruk yang terus berkembang di masyarakat.
Bantahan dari Pihak Kepolisian
Sementara itu, pihak Satreskoba Polrestabes Surabaya telah menyampaikan bantahan atas isu yang berkembang. Melalui Kanit Unit 3, Idham, pihak kepolisian menegaskan bahwa tidak ada praktik pelepasan perkara.
Ia menyampaikan bahwa dua individu yang diamankan merupakan kategori penyalahguna, bukan pengedar, serta diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Penanganan perkara tersebut, menurutnya, telah mengacu pada:
Surat Edaran Mahkamah Agung,
Perpol Nomor 8 Tahun 2021,
PP Nomor 25 Tahun 2011,
serta Peraturan Kepala BNN Nomor 2 Tahun 2018.
Keduanya juga telah menjalani asesmen terpadu (TAT) di BNNK Surabaya dan direkomendasikan untuk menjalani rehabilitasi rawat jalan sebanyak delapan kali pertemuan.
Terkait isu adanya “mahar” atau uang suap, pihak kepolisian dengan tegas membantah.
“Tidak benar adanya penerimaan uang. Jika ada pihak yang memiliki bukti, silakan laporkan ke Propam dengan menyebutkan oknumnya. Kami siap diklarifikasi secara hukum,” tegas Idham.
FRIC: Klarifikasi Saja Tidak Cukup
FRIC DPW Jatim menilai bantahan tersebut sebagai bagian dari hak institusi untuk menjelaskan, namun menurut mereka, klarifikasi semata tidak cukup jika tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang terbuka.
“Kami menghormati klarifikasi dari kepolisian. Tapi publik perlu jaminan bahwa tidak ada ruang gelap dalam proses penegakan hukum. Jangan sampai kasus ini justru memperkuat stigma negatif di masyarakat,” kata Ketua FRIC.
FRIC juga menegaskan bahwa mereka tidak dalam posisi menuduh, namun ingin mendorong agar isu ini diproses secara profesional, terbuka, dan berkeadilan.
Menjaga Marwah Institusi
Di akhir pernyataannya, FRIC menekankan bahwa kritik yang disampaikan bukan untuk menyerang institusi, melainkan sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan penegakan hukum di Indonesia.
“Justru karena kami ingin institusi tetap bermartabat, kami bersuara. Jangan biarkan satu-dua oknum menghancurkan kepercayaan publik. Hukum harus berdiri tegak, bukan tunduk pada uang,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada laporan resmi yang masuk ke Propam terkait dugaan tersebut. Namun isu ini masih terus menjadi perhatian publik dan berbagai pihak mendesak agar penanganannya dilakukan secara transparan dan akuntabel.
(Pimred)
dibaca
Posting Komentar
0Komentar