Unggahan dari akun resmi Ponpes AL Muhajirin tersebut sontak memicu kehebohan lantaran deklarasi ini dilakukan untuk kontestasi di Desa Batonaong, Arosbaya, Buduran, Lajing, hingga Tengket, yang pelaksanaannya diperkirakan masih enam tahun mendatang.
Fakta ini menjadi titik pangkal keanehan dan spekulasi liar di kalangan publik. Mengapa sebuah lembaga pendidikan agama terkemuka begitu tergesa-gesa bahkan enam tahun lebih cepat dalam memublikasikan manuver politik praktis ini. Diduga, langkah ini merupakan upaya pencurian start strategis yang menimbulkan tanda tanya besar.
“Pilkades masih lama sekali, ini jelas aneh. Kenapa harus ada pengumuman terbuka sekarang? Ada motivasi apa di baliknya?” tulis seorang warganet, mencerminkan kebingungan kolektif.
Polemik semakin memanas mengingat poster deklarasi tersebut tidak hanya memuat foto para calon, tetapi juga mencantumkan nama pengasuh pondok pesantren dan menggunakan atribut resmi lembaga. Langkah ini dinilai banyak pihak sebagai tindakan yang mencederai netralitas institusi keagamaan.
Pesantren, yang secara etika seharusnya berada di atas seluruh kepentingan politik praktis untuk menjaga marwah dakwah dan pendidikan, kini dituding terlibat langsung dalam ranah politik desa.
Di kolom komentar, kekhawatiran masyarakat terpusat pada dampak moral terhadap warga desa. Keterlibatan ponpes secara terbuka dikhawatirkan memunculkan tekanan moral (moral hazard) yang dapat menghilangkan kebebasan warga dalam menentukan pemimpin desa tanpa intervensi.
“Ini bukan sekadar deklarasi dini, ini adalah bentuk legitimasi yang bisa mempolarisasi warga sejak awal. Kalau lembaga agama sudah ikut berpolitik, kebebasan memilih masyarakat terancam,” ujar pengguna Facebook lainnya.
Pengamat sosial dan politik lokal sepakat menilai fenomena ini sebagai anomali serius dalam dinamika politik desa. Gerakan yang dilakukan terlalu jauh dari jadwal pemilihan justru menimbulkan kecurigaan publik mengenai adanya kepentingan yang tersembunyi.
“Dalam konteks Pilkades, deklarasi sedini ini sangat tidak lazim. Normalnya, kegiatan semacam ini terjadi menjelang tahapan pemilihan dimulai,” jelas seorang pengamat lokal.
Penggunaan nama besar pesantren sebagai legitimasi politik pada fase pra-kampanye yang ekstrem ini secara otomatis memicu tanda tanya besar. Ini menunjukkan adanya perebutan pengaruh kekuasaan yang dimajukan jauh sebelum waktunya.
Absennya penjelasan ini hanya memperkeruh suasana dan membiarkan spekulasi motif politik beredar semakin luas di tengah masyarakat dan dunia maya.
Satu pertanyaan kini semakin kuat menggema, Mengapa sebuah deklarasi untuk Pilkades yang masih enam tahun lagi harus dirilis dan diviralkan dengan mengatasnamakan lembaga pesantren?
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pondok Pesantren Hidayatulloh Al Muhajirin belum memberikan klarifikasi resmi kepada awak media. (Red lim)
dibaca
Posting Komentar
0Komentar